Biografi Pangeran Diponegoro
Asal usul Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra
sulung dari Sultan Hamengkubuwana III,yaitu raja ketiga di Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Diponegoro Lahir pada tanggal 11 November 1785 di
Yogyakarta dengan nama Mustahar, ibunya merupakan seorang selir bernama R.A.
Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir), ibunya berasal
dari Pacitan. Semasa kecil Pangeran
Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya.
Pangeran Diponegoro
Menyadari kedudukannya sebagai putra
seorang selir, Pangeran Diponegoro menolak keinginan ayahnya yaitu Sultan Hamengkubuwana
III, untuk mengangkatnya menjadi raja di kesultanannya. Pangeran Diponegoro menolaknya dikarenakan mengingat ibunya
bukanlah seorang permaisuri. Pangeran Diponegoro
setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:
- B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
- R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
- R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
- R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir;
- R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;
- R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan;
- R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
- R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
- Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Diponegoro lebih tertarik pada
kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I,
Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap
keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah
satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3
tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.
Perang Diponegoro (Perang Jawa)(1825-1830)
Perang Diponegoro ini berawal ketika
Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegarejo. Saat itu, ia
sudah muak dengan kelakuan yang tidak menghargai adat istiadat setempat yang dilakukan oleh Belanda,
selain itu Belanda juga sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang
Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH
Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas
di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya merupakan perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat dari "perang sabil"
yang dikobarkan Pangeran Diponegoro telah
membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh
agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua
Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh Sunan Pakubuwana VI
dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Selama perang, kerugian
pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan
Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah
50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro,
hingga akhirnya beliau ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang
terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infanteri, kavareli, dan artileri yang
sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal di
kedua belah pihak yang berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di
puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian
sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang
hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan
pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu
wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu
dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung
terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja
keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi
perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi
medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu
hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat
pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari
sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila
musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk
gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan
pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak”
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota;
menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan
pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro.
Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda
mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah
terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa
Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang
dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare),
maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan
melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang
suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat
itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang
urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta
provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran;
dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling
memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan
penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga
Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat
sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makasar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu
dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat,
Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan
walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke
Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki
Sodewa.
Berakhirnya Perang Jawa yang
merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan
korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa,
7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah
penduduk yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam
Kraton yogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon
anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri
Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini
anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah
bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Penghargaan sebagai Pahlawan
Mata uang kertas Rp100,00 bergambar
Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.
Sebagai penghargaan atas jasa
Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat
Jalan dengan nama Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan
apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama tempat
yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro.
Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan,
patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu masuk Undip Tembalang.
Mata uang kertas Rp1.000,00
bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1975 setelah kemerdekaan.
Pemerintah Republik Indonesia pada
masa pemerintahan Presiden Soekarno
pada tanggal 8 Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100
tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan
Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui
Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru
diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni
2013,
UNESCO
menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of
the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat
sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara,
pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro
yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.
Selain itu, untuk mengenang jasa
Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana
Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
Komentar